Home » » MEMARTABATKAN BAHASA DAERAH DI ERA MILENIAL

MEMARTABATKAN BAHASA DAERAH DI ERA MILENIAL


Memartabatkan Bahasa Daerah Di Era Milenial

Oleh: Hendra Saeful Bahri



Bulan Februari merupakan bulan yang kaya akan moment, seperti lahirnya lambang negara Garuda Pancasila, lahirnya Inggit Garnasih, dan lahirnya sastrawan terkemuka yaitu Pramoedya Ananta Toer. Selain itu bulan Februari juga merupakan bulannya Bahasa Ibu. UNESCO, sebagai badan PBB yang menaungi bidang Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Mungkin banyak kalangan yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa bulan Februari adalah hari bahasa ibu.

Terkait dengan bahasa ibu, bahasa ibu sendiri dapat dimaknai sebagai bahasa pertama yang dikuasai oleh setiap individu mulai sejak lahir, sebagai contoh kalau seseorang dilahirkan dan dibesarkan di daerah Sunda, maka bahasa ibunya yaitu bahasa Sunda, begitupun di daerah lainnya. Sekarang ini yang menjadi pertanyaan bagaimana eksistensi bahasa daerah di kalangan generasi muda?

Sebagai impact dari modernisasi, bangsa ini sedang dilanda krisis bahasa. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan generasi muda saat ini merasa gengsi ketika komunikasi dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa daerah atau bahkan bahasa nasional sekalipun. Mereka lebih percaya diri kalau menggunakan bahasa Inggris ketika berkomunikasi. Di daerah Bandung sendiri yang secara notabene masih termasuk provinsi Jawa Barat dengan bahasa ibunya bahasa Sunda, banyak kalangan terkhusus generasi muda sudah mulai meninggalkan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-harinya.

Bahasa daerah merupakan simbol paling sempurna sebagai sarana pengekspresian tata cara, adat, komunikasi sosial, dan pranata sosial. Berdasarkan data, bahasa daerah di Indonesia ada 725 bahasa dan versi UNESCO ada 640 bahasa. Dari jumlah ratusan bahasa daerah tersebut, ada 14 bahasa di antaranya yang dinyatakan telah hilang. Umumnya terjadi di wilayah masyarakat Indonesia timur, seperti Maluku dan Papua. Kerugian ini, menurut penelitian sementara, disebabkan oleh warga setempat yang sudah tidak menggunakan lagi bahasanya sendiri. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Nettle dan Romaine (2000) yang memperkirakan bahwa lebih separuh dari bahasa-bahasa di dunia akan hilang pada abad mendatang.

Pada dasarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan punahnya bahasa daerah disuatu tempat. Faktor tersebut diantaranya yaitu masyarakat merasa malu ketika berkomunikasi menggunakan bahasa daerah, takut dibilang kampungan, takut dibilang gak gaul, ketinggalan zaman dan yang lainnya apapun namanya itu. Selain itu orang tua merasa enggan menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan anaknya. Mereka lebih memilih menggunakan bahasa nasional walaun berada dikawasan Jawa Barat.

Terkait dengan problematika krisis bahasa dikalangan generasi muda, apabila dibiarkan saja tanpa disertai upaya untuk memartabatkan kembali bahasa daerah sebagai bahasa ibu di era milenial ini, maka krisis bahasa ini akan semakin runyam, bahkan bahasa Sunda sendiri akan hilang dari peradaban. Walaupun pemerintah khususnya Pemkot Bandung sudah mengeluarkan regulasi yaitu “rebo nyunda”, namun regulasi tersebut tidak melihatkan hasil yang signifikan.

Menurut hemat penulis, salah satu upaya untuk memartabatkan eksistensi bahasa daerah sebagai bahasa ibu di era milenial ini yaitu harus adanya sinergitas antara lingkungan keluarga, lembaga pendidikan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dengan adanya sinergitas ini maka martabat bahasa daerah sebagai bahasa ibu akan meningkat secara signifikan.

Lingkungan Keluarga
Keluarga mempunyai peran sangat penting bagi Pendidikan si anak. Dalam dan dari keluarga orang mempelajari banyak hal, dimulai dari bagaimana berinteraksi dengan orang lain, menyatakan keinginan dan perasaan, menyampaikan pendapat, bertutur kata, bersikap, berperilaku, hingga bagaimana menganut nilai-nilai tertentu sebagai prinsip dalam hidup, termasuk penggunaan bahasa daerah di dalamnya. Pada intinya, keluarga merupakan basis pendidikan bagi setiap individu. Terkait dengan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, lingkungan keluarga merupakan ujung tombak eksis atau tidaknya bahasa daerah. Hal tersebut dikarenakan di lingkungan keluargalah bahasa daerah mulai diperkenalkan. Maka dari itu untuk dalam rangka memartabatkan kembali bahasa daerah sebagai bahasa ibu di era milenial ini, orang tua jangan malu untuk menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan anaknya, dan harus diajarkan pula etika dalam berkomunikasi. Kalau dalam bahasa Sunda dikenal dengan “undak usuk basa sunda” atau dimaknai sebagai tata krama atau sopan santun dalam berbahasa.

Lembaga Pendidikan Sekolah
Lembaga pendidikan sekolah merupakan bagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus juga merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Yang dimaksud dengan pendidikan sekolah disini adalah pendidikan yang diperoleh seseorang disekolah secara teratur, sistematis, bertingkat dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat (mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi).

Terkait dengan bahasa daerah, di persekolahan materi bahasa daerah sudah masuk dalam pelajaran muatan lokal (mulok). Namun ketika hanya mengandalkan pada satu pelajaran saja yaitu melalui mulok, martabat atau eksistensi bahasa daerah tidak akan terlihat hasil yang signifikan. Jadi perlu adanya sinergitas dengan pelajaran lain termasuk dengan gurunya.

Menurut hemat penulis, guru disetiap mata pelajaran harus menguasai etnopedagogi. Etnopedagogi ini merupakan pengetahuan kultural yang dimiliki oleh setiap guru yang diwariskan secara turun temurun. Jadi guru juga berperan sebagai agen transfer budaya kepada peserta didiknya. Dengan menguasai etnopedagogi maka guru akan mampu mentransfer dan dapat meningkatkan martabat bahasa daerah sebagai bahasa ibu di era milenial ini, dan yang paling terpenting adalah bahasa daerah harus dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam setiap pembelajaran.

Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan tempat setiap individu untuk memperoleh pendidikan nonformal. Di sini, setiap individu akan melakukan interaksi dan meniru segala hal yang dilakukan masyarakat lingkungannya. Hal ini tentunya sangat baik ketika lingkungan hidup anak damai, tenteram dan terjadi banyak aktivitas bersama. Interaksi yang dilakukan setiap individu ini akan menjadi pendidikan non formal sebagai pengalaman hidup anak di lingkungan masyarakat. Terkait dengan bahasa daerah, maka masyarakat harus membiasakan dan memberikan contoh dalam penggunaan bahasa daerah yang baik dan benar sesuai etika. Menurut hemat penulis ketika masyarakat sudah membiasakan penggunaan bahasa daerah dalam berkomunikasi, maka setiap individu khsusnya generasi muda tidak akan malu untuk menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari.

0 comments:

Posting Komentar